Saat kau, Shin Tae Yong, datang pada 28 Desember 2019, ada bayangan Luis Milla. PSSI lebih memilihmu ketimbangnya karena janjimu lebih kuat untuk Timnas Indonesia.
Aku jadi teringat Sutardji Calzoum Bachri. Si pemilik julukan Presiden Penyair Indonesia ini punya sajak berjudul ‘AH’. Salah satu baitnya seperti suasana kebatinan Timnas saat itu.
“aku telah mengecup luka
aku telah membelai aduhai!
aku telah tiarap harap
aku telah mencium aum!
aku telah dipukau au!”
Begitulah kira-kira kondisi hatiku dan pencinta Timnas Indonesia. Dari tahun ke tahun, dari laga ke laga, lebih banyak kecewanya. Sampai-sampai, harapan hampir padam.
Debutmu di Timnas Indonesia terjadi dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2022. Hancur. Dari lima laga, termasuk uji coba, empat kali kalah. Tanpa menang; sekali imbang.
Setelah menonton kekalahan 0-5 dari Uni Emirat Arab, kuambil kumpulan puisi Joko Pinurbo. Kubaca syair berjudul ‘Cita-Cita’. Kok, rasanya ini jadi semacam doa di kala duka.
“Setelah punya rumah, apa cita-citamu?
Kecil saja: ingin sampai rumah
saat senja supaya saya dan senja sempat
minum teh bersama di depan jendela.”
Alhamdulillah, setelah itu Garuda jadi menangan. Skuad muda racikanmu mulai bertuah. Kendati main pragmatis, sampai-sampai parkir bus, ada secercah asa akan masa jaya.
Dari media sosial kubaca, warganet mulai jatuh cinta. Caramu menata mentalitas mengemuka. Rasa-rasanya aku seperti sedang membaca puisi Sapardi Djoko Damono: Aku Ingin.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu”
Dan, tahun 2022, aura tim Merah Putih menyala-nyala. Dari 12 pertandingan hanya sekali kalah. Manisnya, Indonesia lolos ke Piala Asia 2023 setelah absen di tiga edisi beruntun.
Pada 2022 pula sebuah penetrasi agresif dilakukan PSSI atas pintamu: naturalisasi. Jordi Amat jadi pemain pertama yang didiasporakan. Ini naturalisasi jilid ketiga.
Pada sastrawan D Zawawi Imron aku mencoba mencari padanan kata. Akhirnya kutemukan sajak berjudul ‘Ibu’ sebagai pembenaran atas nasionalisasi pemain keturunan.
“kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir”
Pada Februari 2023, Erick Thohir Jadi Ketua Umum PSSI. Ia menggantikan Mochamad Iriawan atau Iwan Bule yang mundur setelah sadar ada etika akibat kelalaian Tragedi Kanjuruhan.
Gebrakan dilakukan. Argentina sang juara Piala Dunia 2022 didatangkan. Ah, tanpa Lionel Messi. Sejurus itu, gerakan naturalisasi semakin tinggi. Ada ambisi dari si menteri.
Sebetulnya, kontrakmu habis per Desember 2023. Namun, karena ada Piala Asia 2023 di 2024 dan Piala Asia U-23 2024, kontrakmu ditambah enam bulan. Jika mencapai target, diperpanjang.
Tercapai. Indonesia kau bawa ke babak 16 besar Piala Asia untuk pertama kalinya. Indonesia juga mencipta sejarah sebagai debutan yang melaju ke semifinal Piala Asia U-23.
Aku jadi teringat WS Rendra. Dalam sajak pendek berjudul ‘Pahatan’, bait puitis Si Burung Merak seperti senada dengan tonggak baru yang dicapai Timnas Indonesia.
“Di bawah pohon sawo
di atas bangku panjang
di bawah langit biru
di atas bumi kelabu
-Istirahlah dua buah hati rindu.”
Mau tak mau PSSI terpaksa memperpanjang kontrakmu. Cinta yang besar itu, rasa sayang yang diteriakkan di tribune stadion, belum bisa dibalas dengan tuba.
Sampai, telegram burung itu tiba. Kabarnya, setelah laga melawan Bahrain ada sengketa. Antara pemain dan kau. Itu biasa dalam sepak bola. Di belahan dunia lainnya juga sama.
Itu mengapa permainan melawan China kacau balau. Seenak udel. Sesuka jidat. Gejala-gejalanya pun masih terasa saat dibantai Jepang, sebelum akhirnya menang lawan Arab.
Aku teringat KH Mustofa Bisri atau Gus Mus. Pada salah satu puisi renungan sang kyai aku menemukan banyak persamaan. Judul puisi itu, Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat.
“Kalau kau sibuk bertikai saja
Kapan kau sempat merenungi sebab pertikaian?
Kalau kau sibuk merenungi sebab pertikaian saja
Kapan kau akan menyadari sia-sianya?”
Terakhir, ada Piala AFF 2024. Kau dan PSSI sepakat mengirim pemain U-22 dalam ajang dwitahunan pemain senior ini. Kau sepakat, karena itu rotasi selalu kau lakukan.
Nahas, Indonesia gagal menembus babak grup. Ada yang merasa wajar, banyak juga yang kecewa. Itu namanya dinamika. Namun ada orkestrasi dari kegagalan ini.
Ketika huru-hara menggelora di media sosial selepas Piala AFF 2024, aku teringat Widji Thukul: Peringatan. Ribut publik dan PSSI seperti bait-bait si penyair hilang.
“Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam”
Benar saja, evaluasi PSSI yang disangsikan suporter Garuda akhirnya tiba. Tepat pada 6 Januari 2025, dalam usia lima tahun 10 hari di Timnas Indonesia, kau resmi dipecat.
Kubayangkan, saat kau didatangi Sumardji pada Senin pagi dengan surat pemecatan, api hatimu redup. Imajinasiku, kau sontak membaca Chairil Anwar: Aku Binatang Jalang.
“Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang”
Wahai Shin Tae Yong, jika suatu saat nanti PSSI memintamu kembali ke Timnas Indonesia, tolaklah. Datanglah ke Negeri ini sebagai saudara dengan golden visa. Terima kasih.