
Dunia badminton dikejutkan oleh tongkat estafet kepemimpinan yang berpindah dari Eropa ke Asia Tenggara. Pasangan Malaysia, Goh Sze Fei/Nur Izzuddin, berhasil merangsek ke peringkat satu dunia per 27 Mei 2025, menandai momen bersejarah setelah delapan tahun lamanya Negeri Jiran tidak mencicipi posisi teratas ganda putra BWF.
Keberhasilan ini bukan sekadar angka dalam ranking, tetapi cermin dari revolusi kepelatihan yang dialami sektor ganda putra Malaysia. Goh/Izzuddin bukan sekadar atlet, mereka adalah produk dari sistem pelatihan dan kemandirian. Malaysia kini memetik buahnya secara nyata, berkat tangan dingin Herry Iman Pierngadi, legenda kepelatihan asal Indonesia.
Sosok Herry IP, yang sebelumnya adalah arsitek kejayaan ganda putra Indonesia, kini justru menjadi mesin penggerak kejayaan musuh bebuyutan di regional, Malaysia. Di bawah asuhannya, pasangan ganda Malaysia tidak hanya bermain solid, tetapi juga disiplin secara taktik dan dewasa dalam menyikapi tekanan pertandingan besar.
Di sisi lain, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang dulu anak emas Herry IP di pelatnas Cipayung, terjebak dalam stagnasi yang berkepanjangan. Tertahan di peringkat kelima dunia dengan 81.034 poin, mereka seperti kehilangan arah permainan dan ritme kompetitif yang konsisten. Ironisnya, saat Herry IP berjaya di negeri tetangga, ganda putra Indonesia justru mengalami kebuntuan prestasi. Kepelatihan dalam negeri seolah kehilangan figur sentral yang mampu merajut komunikasi teknis dan emosional dengan para atlet.
Dominasi Malaysia kini bukan kebetulan, melainkan hasil investasi dan keberanian mereka mempercayakan pembinaan ganda putra kepada pelatih asing yang telah terbukti sukses. Herry IP diberi keleluasaan membangun sistem, bukan sekadar ditugasi menggenjot fisik atau memoles teknik semata.
Kemunduran Kim Astrup/Anders Rasmussen dari singgasana, turun ke posisi kedua setelah kalah dari Aaron Chia/Soh Wooi Yik di semifinal Malaysia Masters, membuka ruang bagi Malaysia untuk merajai kembali sektor ganda putra. Ini adalah puncak dari proses panjang, bukan kejutan sesaat. Hal yang menarik, bukan hanya Goh/Izzuddin yang menanjak. Pasangan Aaron/Soh, yang juga diasuh Herry IP, kini duduk di posisi ketiga dunia. Ini menandakan regenerasi yang sehat dan kompetitif dalam tubuh tim ganda Malaysia.
Sementara itu, Indonesia justru belum menunjukkan pola regenerasi ganda putra yang kokoh. Di balik nama besar Fajar/Rian, belum terlihat pasangan muda yang mampu memberikan tekanan atau tampil konsisten di level Super 500 ke atas. Masalahnya bukan sekadar teknis atau fisik. Ada krisis filosofi dalam pengelolaan pelatnas. Ketika Herry IP dipinggirkan dari Cipayung, seolah ikut terkubur pula sistem kerja berbasis kedisiplinan, komunikasi terbuka, dan pendekatan humanistik yang selama ini ia pegang.
Ini menjadi pelajaran penting bagi PBSI. Dalam olahraga modern, loyalitas dan prestasi harus dihargai dengan sistem yang terbuka terhadap evaluasi, bukan dominasi kelompok-kelompok tertentu yang lebih banyak mengurusi politik internal ketimbang mutu atlet.
Malaysia menunjukkan kepada dunia bahwa keberhasilan bisa diraih dengan sinergi, keterbukaan terhadap ilmu dari luar, dan keberanian menata ulang sistem pelatihan. Keputusan mereka mendatangkan Herry IP adalah keputusan strategis yang kini terbukti membuahkan hasil besar.
Bagi Indonesia, ini saatnya untuk berkaca dan menata ulang strategi ganda putra. Bukan hanya dengan mengganti pelatih atau atlet, tetapi membangun kembali ekosistem yang memuliakan ilmu, pengalaman, dan integritas pelatih seperti yang pernah ditunjukkan oleh Herry IP.
Pasangan Goh/Izzuddin menjadi simbol bahwa sistem yang benar akan melahirkan prestasi yang konsisten. Mereka bukan hanya menjadi juara di atas lapangan, tetapi juga representasi keberhasilan manajemen dan kepelatihan yang menyatu dalam visi bersama. Kini, tinggal bagaimana Indonesia menjawab tantangan ini. Apakah akan terus membiarkan kebuntuan berlanjut, atau mulai merajut kembali masa depan ganda putra dengan lebih rasional dan profesional? Sebab dalam dunia olahraga, prestasi bukan hanya soal siapa yang bermain, tetapi siapa yang memimpin di balik layar.